Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

5 Sopan Santun Stones Endgame Untuk Pemimpin Kurun Kini

Endgame, bakal menjadi film paling fenomenal tahun ini dengan meraup pendapatan tiket hingga 17 trilyun rupiah. Faktanya, sekuel dari Infinity War ini berhasil menduduki peringkat pertama di seluruh dunia yang menayangkannya, kecuali Jepang. Memang, sebagian besar dari kita terpesona dengan agresi berkelahi dan drama tokoh-tokoh Avengers di sana. Saya setuju, dari film crossover Marvel Superheroes yang pernah ada, Endgame sementara yakni yang terbaik. Adegan I love you 3000 begitu terbenam di benak saya, hingga sekarang. 

Seperti biasa, saya merenungkan pesan-pesan moral terbaik sesudah menikmati hidangan box office. Kali ini, saya mencoba melihat dari perspektif kepemimpinan, baik kepemimpinan atas diri maupun terhadap orang lain dari peseteruan Thanos melawan Avengers. Lima pesan moral yang boleh saya sebut The Five Moral Stones.

1. Yang terbaik, hanya yang lebih bijaksana
Sebelum Endgame, beberapa teman mempertanyakan, bagaimana mungkin Captain America yang menjadi pemimpin Avengers. Dia bukan yang terkuat, ia bukan yang terpandai, bukan yang paling tech-savvy. Ini menjadi menarik ketika mengikuti dan membaca beberapa komik Avengers, kita akan menemukan bahwa Steve Rogers mempunyai personaliti yang paling matang dan bijaksana. Ia menghadapi tim-nya dengan relatif sabar, tidak emosional, dan pada balasannya selalu berhasil menuntaskan misi bersama. Bahkan kemurnian hatinya memampukannya untuk mengendalikan Mjolnir, senjata andalan Thor. 

Dari simbol-simbol tersebut, kita mencar ilmu bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, lebih utama yakni kebijaksanaan dan integritas. Ia bukan yang terhebat, namun bisa mengendalikan orang-orang hebat untuk menjalani visi yang sama. Di simpulan cerita, Steve sukses dalam hal regenerasi. Ia melepaskan segalanya sesudah selesai waktunya, mengatakan tongkat estafet sebagai next leader kepada Sam, The Falcon. Ia berhasil mempersiapkan kelanggengan Avengers di masa depan. Ssebaliknya, sungguh tragis ketika seorang pimpinan pada balasannya sulit menemukan calon-calon penggantinya, merasa tak banyak yang lebih baik dari dirinya. Tanpa sadar, ia telah gagal menjadi pemimpin selama ini. Lihatlah Steve renta yang bahagia.

2. Lari dari masa lalu, tetap membuatmu tak berguna
Thor, salah satu tokoh yang menciptakan saya mengernyitkan wajah. Dalam Endagme, ia menjadi sosok yang berusaha keluar dari penderitaan batinnya dengan gaya hidup yang salah, menjadi pemabuk, over weight dan tak peduli apapun. Walau berhasil memancung Thanos, namun ia merasa gagal mengembalikan semua orang yang hilang. Hal yang seolah-olah dengan nasib Clint Barton, si Hawk Eye yang telah kehilangan keluarganya kemudian menentukan jalan hidup sebagai Ronin, pembunuh bayaran. Profesi gres yang diyakininya akan mengobati masa lampau. Baik Thor dan Clint, keduanya gagal mendapatkan masa lampau, kenyataan pahit dan menjadi diri yang lain.

Apa yang terjadi ketika Banner dan Rocket tidak menyadarkan Thor, atau Natasha tidak menyemangati Clint? Jelas, kedua tokoh Avenger itu akan terus menjalani kehidupan tak berkhasiat dan terus lari berkejaran dengan masa lalu. Proses penyadaran yang membawa Thor kembali mighty dan Hawkeye kembali menjadi Earth's Mightiest Hero, move on, dan menatap tajam masa depan penuh harapan. Demikian perilaku pemimpin dalam merespon masa lalu. Kegagalan bisa saja terjadi, namun mencar ilmu dari kegagalan sekaligus menyusun langkah ke depan yakni hal yang lebih bijaksana.

3. Niat baik saja tidak cukup
Thanos, terlihat sosok yang sangat bengis, kejam, dan supervillain. Memperhatikan dialog-dialognya, kita akan menemukan sebuah visi besar dalam dirinya. Ambisinya yakni menjaga keseimbangan dan kelanggengan semesta, meskipun ia harus melenyapkan separuh populasi insan di bumi, tanpa ampun. Sempat saya berpikir bahwa Thanos yakni satu-satunya di film tersebut yang memikirkan nasib jagad raya, melampaui bumi. Setidaknya para Avengers hanya berjuang untuk bumi, khususnya orang-orang yang mereka sayangi.

Karakter Thanos mengajarkan bahwa niat baik saja tidak cukup. Apa arti visi besar bila toh balasannya harus menyakiti banyak hati. Bukankah hidup lebih indah untuk mencari mitra daripada musuh? Niat yang baik harus dibarengi cara yang baik pula, yang didasari oleh ketulusan dan welas asih. Dalam kehidupan organisasi, cara-cara yang baik bukan sekadar rangkaian aktivitas-aktivitas dalam rencana strategis, reputasi, atau popularitas, namun juga memelihara korelasi antarmanusia di dalamnya, mengedepankan core values yang berpengaruh dalam setiap tindak operasional.

4. Aku bukan hanya milikku
Kematian Black Widow dan Ironman boleh jadi kejutan pahit Endgame bagi penggemar kedua tokoh tersebut. Mereka berkorban demi kepentingan orang lain, seolah tidak lagi memikirkan dirinya. Sebuah drama yang menciptakan haru, bagaimana Tony Stark sempat meninggalkan Avengers, menentukan hidup berkualitas bersama keluarganya. Namun pada balasannya ia menentukan untuk berkorban, menyelamatkan bumi, menyingkirkan Thanos, nekad memakai Gaunlet!

Seorang guru menasehati saya, bahwa ketika menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi, dirimu bukan lagi milik dirimu atau keluargamu saja, namun sudah menjadi milik organisasi. Hidupmu harus didedikasikan pada kepentingan banyak orang. Bukan memikirkan ego lagi, tapi pada sesuatu yang lebih besar. Tenaga, waktu, bahkan pengorbanan tidak lagi semata untuk kepentingan diri. Ya, Black Widow dan Stark telah memvisualisasikannya dengan cakep.  

5. Pemimpin inovatif selalu mengatakan solusi terbaik
Salah satu solusi terbesar Endgame yakni diciptakannya mesin Quantum Realm, semacam mesin waktu untuk membawa para Avengers yang tersisa ke masa lampau dan mengumpulkan batu-batu Gaunlet. Sebuah kreasi hasil sinerji, terutama aliran Banner, Stark, dan tentunya keputusan Steve Rogers. Pemimpin yang baik memfasilitasi penemuan berbasis nilai, bukan sebaliknya, sebab penemuan yakni satu-satunya jalan untuk penyelesaian persoalan baru, yang belum terpolakan sebelumnya. Salah satu persoalan terbesar kepemimpinan yakni memakai cara atau seni administrasi masa lampau untuk menuntaskan persoalan ketika ini. Keputusan membangun mesin tersebut juga begitu impulsif dan tidak mengikuti contoh pengambilan keputusan birokratis.

Salut untuk Captain America yang sukses memimpin tim memasuki Quantum Realm, dan berhasil mengambil kembali batu-batu ajaib. Ia menghitung peluang dan berani mengambil risiko penemuan yang besar dengan hasil yang belum 100% pasti. Melakukan penemuan bisa jadi keengganan pemimpin jaman now. Selain biaya dan risiko besar, hasilnya dinilai tidak pasti. Namun bagi mereka yang mencar ilmu wacana akuntansi inovasi, tetap bisa meminimalkan risiko, biaya, dan memperbesar peluang keberhasilannya. Itulah sifat pemimpin inovatif.


Semoga bermanfaat!

Sumber http://inspirasisolusibisnis.blogspot.com/