Spirituality-Based University, H.E.R.O Sebagai Pilar Mendasar (Bagian 2)
![]() |
| pic: emerging-europe |
Bagaimana dengan kita? Masih nyinyirin capres?
Society 5.0 merupakan satu dari manifestasi faktual spiritualitas. Bahwa segala temuan ditujukan untuk kebaikan dan peningkatan kualitas hidup manusia. Spirit yang sejatinya harus tertanam dalam seluruh aspek kehidupan, utamanya dalam bidang pendidikan.
Pada artikel sebelumnya, saya menulis prolog sekaligus mempertayakan bagaimana penerapan SBC menjadi Spirituality-based University (SBU)? Berliterasi ihwal spiritualitas, membawa saya pada kesimpulan 4 pilar utama bagi perguruan tinggi semoga tetap berintegritas pada jalur kemuliaannya, yaitu pembentuk peradaban bangsa. Keempat pilar itu adalah Human centric innovation, Excellent services, Reliability, dan Organisation awareness atau disingkat HERO.
1. Human centric innovation
Siklus organisasi ibarat kurva distribusi normal. Ada masanya merintis, tumbuh, kembang, hingga posisi puncak. Setelahnya, menuju tahap penurunan dan pada saatnya akan mati. Perjalanan organisasi menuju fase mapan dan matang sesungguhnya perlu diwaspadai. Salah satu tanda memasuki fase ini ialah mulainya terjadi stagnasi ibarat cenderung tetapnya jumlah murid, lunturnya gairah kerja, tidak sanggup berkembangnya kapasitas, hingga melambatnya bahkan mandegnya pertumbuhan revenue. Satu-satunya cara mencegah hal ini ialah dengan membuat "rintisan" kembali. Rintisan gres yang ditandai dengan inovasi. Inovasi ialah proses penciptaan kurva gres yang akan menjaga organisasi dari kepunahan.
Dasar dari konsep penemuan ialah penciptaan value bagi pengguna. Demikianlah dalam konteks dunia pendidikan. Inovasi hanya ditujukan untuk kebaikan umat manusia, khususnya sivitas akademika yang terdiri dari dosen, staf administrasi, mahasiswa, alumni, serta seluruh stakeholder terkait. Dibutuhkan terobosan-terobosan gres yang mempunyai kausalitas dengan peningkatan kualitas hidup secara rasional. Diperlukan semangat gres dan kesadaran penuh dari segenap sivitas akademika ihwal pembangunan budaya inovasi. Bagaimana berselarasan dengan teknologi dan zaman ibarat spirit Society 5.0. Inovasi yang dibagun dari hulu ke hilir, semenjak bertemu dengan calon mahasiswa atau calon stakeholder, lalu bagaimana terobosan dalam kegiatan terkait Tridharma ibarat disain kurikulum progresif dan gaming & learning experience yang baik.
2. Excellent services
Sebagai "bisnis" jasa, perguruan tinggi wajib mengatakan layanan prima, baik pada mahasiswa, rekanan kerjasama, termasuk layanan pada karyawannya. Kita tengah memasuki experince-driven world. Dunia bisnis makin menyadari tugas srategis penciptaan pengalaman ibarat telah dirintis oleh Apple Store yang mengatakan konsep live touch and try, sekaligus karyawan sebagai helper/ assistant. Keputusan dalam evaluasi tidak lagi hanya berdasar fungsi dari produk (barang/ jasa), namun juga layanan.
Dalam buku Exist or Extinct, saya menulis 3 jenis pengalaman, yaitu physical, emotional, dan spiritual experience. Mana yang penting? Jelas ketiganya penting. Namun hanya emotional dan spiritual experience yang tidak gampang ditiru. Ini ialah pengalaman yang unik dan melekat, masuk hingga ke ranah jiwa dan rasa. Saya mencoba bertanya pada kawan-kawan SMP, apa yang kalian ingat dari masa sekolah dulu? Tak satupun menyebutkan gedung yang jelek, koleksi perpustakaan yang kurang, atau tatanan ruang kelas. Artinya, mereka melupakannya. Mereka lupa pengalaman-pengalaman yang bersifat fisik. Mereka lebih mengingat pengalaman dalam kisah-kisah yang seru, dimarahin guru BP, sudut taman daerah pacaran, atau penemuan jati diri ketika ngopi bersama pak guru. Kelas-kelas yang menginspirasi masa depan, kelas yang merayakan talenta anak-anak, kelas yang menghargai kehidupan ialah pengalaman itu sendiri. Inilah pengalaman emosional sekaligus spiritual yang tak lekang oleh waktu, bahkan nyaris tak sanggup disaingi.
"Saya berasal dari Sekolah Menengan Atas "ABC", awalnya saya kaget masuk UBAYA. Sungguh berbeda kondisinya. Sangat multikultur dan perbedaan itu sanggup hidup bersama. Saya yang awalnya risih bergaul dengan orang beda agama, kini teman-teman saya agamanya macam-macam. UBAYA ialah citra kecil Indonesia." Ini ialah pernyataan salah seorang mahasiswa pascasarjana di daerah saya bekerja. Memang, perbedaan yang ada tidak sekadar diterima dan dimaklumi, namun dengan upaya sadar , dirawat, lantaran demikianlah realita kehidupan.
3. Reliability beyond accounting
Kepada siapakah gotong royong sebuah perguruan tinggi itu bertanggung jawab? Yayasan, pemerintah, atau pebisnis pemilik? Ya, mungkin saja benar. Setiap tahun, perguruan tinggi yang baik menjalankan kegiatan penganggaran dan monitoring internal sebagai refleksi sekaligus ide perbaikan. Ini ialah bentuk pertanggungjawaban umum yang bersifat mandatori. Selain itu, mereka juga menjalani proses evaluasi dan standarisasi dari pihak eksternal. Menariknya, ketika ini aneka macam perguruan tinggi gemar berlomba meraih pengukuhan dan sertifikasi. Demi apa?
Memang benar, performa keuangan itu penting, pengakuan juga penting. Namun, jangan hingga kedua jenis sasaran tersebut mendistorsi misi mulia bahwa perguruan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan semata alat akumulasi laba demi kepuasan pebisnis apalagi alat politik. Pelita inilah yang harus dijaga selamanya. Sebuah kesadaran pertanggungjawaban kepada negara dan bangsa. Perguruan tinggi bertanggung jawab pada nasib generasi muda bangsa. Perguruan tinggi bertanggung jawab kepada stakeholder, memberi value, mencerahkan, dan membangun peradaban yang baik, insan seutuhnya. Kesadaran yang diturunkan pada segenap sivitas akademikanya.
Dan pada akhirnya, pertanggungjawaban sebuah perguruan tinggi harus ditujukan pada Tuhan Yang Maha Esa. Atas restuNya kita ada. Sudah sepatutnya, manajemen universitas bekerja sebagai wujud ibadah, ritual suci yang jauh melampaui sekadar angka-angka keuangan. Demikianlah prinsip beyond accounting.
4. Organization awareness
Sebagai cuilan dari kehidupan, perguruan tinggi harus mempunyai kesadaran ihwal keterhubungan kosmik atau omni connectivity. Hidup ialah keterhubungan antarelemen yang ada di alam semesta. Apa yang kita lakukan akan berdampak pada hal lain. Demikian pula sebaliknya. Sebagai pola terjadinya peningkatan permukaan maritim jawaban pencairan es di kutub. Pencairan jawaban pemanasan global, yang diakibatkan oleh pola hidup manusia. Universitas harus berani tampil sebagai penyuara keberlanjutan alam. Pengembangan keilmuan, kegiatan Tridharma dan aneka macam sketsa kerjasama dengan pihak ke-3 ditujukan pada kesinambungan alam, manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Ini ialah implementasi dari kesadaran dunia besar atau dalam ilmu Tasawuf disebut Jagad Agung. Bagaimana memulainya?
Awali dengan membangun kesadaran organisatoris secara internal. Bahwa apapun yang terjadi, ialah jawaban kekerabatan sebab-akibat dan interaksi seluruh elemen di dalam organisasi. Sebagai contoh, kita mendapati turunnya secara signifikan jumlah pendaftar. Siapa yang salah? Tim marketing? Pemimpin tim marketing? Bagian HRD yang tidak memberi training lanjutan, atau pimpinan rektorat yang jarang memberi arahan? Bisa jadi semuanya saling berkolerasi. Segala problem dipandang secara holistik. Bahwa keberhasilan/ kegagalan di satu divisi juga dipengaruhi andil divisi lain. Dalam tulisan sebelumnya, saya memaparkan bagaimana responsibility justru berpotensi membuat ego divisi dan jurang sinerji. Berpikirlah membuat value center, dimana setiap divisi juga bertanggungjawab untuk memberi layanan, value, santunan kepada divisi lain. Ini ialah kesadaran ihwal Jagad Alit.
Dengan merawat keempat pilar ini sebagai hal yang paling fundamental, semoga dunia pendidikan tinggi di Indonesia lebih baik. H.E.R.O akan menjaga kemurnian hati tim manajemen dan seluruh sivitas perguruan tinggi, ibarat matahari menjaga siang, dan bulan menjaga malam.
Semoga bermanfaat!
Sumber http://inspirasisolusibisnis.blogspot.com/
Pada artikel sebelumnya, saya menulis prolog sekaligus mempertayakan bagaimana penerapan SBC menjadi Spirituality-based University (SBU)? Berliterasi ihwal spiritualitas, membawa saya pada kesimpulan 4 pilar utama bagi perguruan tinggi semoga tetap berintegritas pada jalur kemuliaannya, yaitu pembentuk peradaban bangsa. Keempat pilar itu adalah Human centric innovation, Excellent services, Reliability, dan Organisation awareness atau disingkat HERO.
1. Human centric innovation
Siklus organisasi ibarat kurva distribusi normal. Ada masanya merintis, tumbuh, kembang, hingga posisi puncak. Setelahnya, menuju tahap penurunan dan pada saatnya akan mati. Perjalanan organisasi menuju fase mapan dan matang sesungguhnya perlu diwaspadai. Salah satu tanda memasuki fase ini ialah mulainya terjadi stagnasi ibarat cenderung tetapnya jumlah murid, lunturnya gairah kerja, tidak sanggup berkembangnya kapasitas, hingga melambatnya bahkan mandegnya pertumbuhan revenue. Satu-satunya cara mencegah hal ini ialah dengan membuat "rintisan" kembali. Rintisan gres yang ditandai dengan inovasi. Inovasi ialah proses penciptaan kurva gres yang akan menjaga organisasi dari kepunahan.
Dasar dari konsep penemuan ialah penciptaan value bagi pengguna. Demikianlah dalam konteks dunia pendidikan. Inovasi hanya ditujukan untuk kebaikan umat manusia, khususnya sivitas akademika yang terdiri dari dosen, staf administrasi, mahasiswa, alumni, serta seluruh stakeholder terkait. Dibutuhkan terobosan-terobosan gres yang mempunyai kausalitas dengan peningkatan kualitas hidup secara rasional. Diperlukan semangat gres dan kesadaran penuh dari segenap sivitas akademika ihwal pembangunan budaya inovasi. Bagaimana berselarasan dengan teknologi dan zaman ibarat spirit Society 5.0. Inovasi yang dibagun dari hulu ke hilir, semenjak bertemu dengan calon mahasiswa atau calon stakeholder, lalu bagaimana terobosan dalam kegiatan terkait Tridharma ibarat disain kurikulum progresif dan gaming & learning experience yang baik.
2. Excellent services
Sebagai "bisnis" jasa, perguruan tinggi wajib mengatakan layanan prima, baik pada mahasiswa, rekanan kerjasama, termasuk layanan pada karyawannya. Kita tengah memasuki experince-driven world. Dunia bisnis makin menyadari tugas srategis penciptaan pengalaman ibarat telah dirintis oleh Apple Store yang mengatakan konsep live touch and try, sekaligus karyawan sebagai helper/ assistant. Keputusan dalam evaluasi tidak lagi hanya berdasar fungsi dari produk (barang/ jasa), namun juga layanan.
Dalam buku Exist or Extinct, saya menulis 3 jenis pengalaman, yaitu physical, emotional, dan spiritual experience. Mana yang penting? Jelas ketiganya penting. Namun hanya emotional dan spiritual experience yang tidak gampang ditiru. Ini ialah pengalaman yang unik dan melekat, masuk hingga ke ranah jiwa dan rasa. Saya mencoba bertanya pada kawan-kawan SMP, apa yang kalian ingat dari masa sekolah dulu? Tak satupun menyebutkan gedung yang jelek, koleksi perpustakaan yang kurang, atau tatanan ruang kelas. Artinya, mereka melupakannya. Mereka lupa pengalaman-pengalaman yang bersifat fisik. Mereka lebih mengingat pengalaman dalam kisah-kisah yang seru, dimarahin guru BP, sudut taman daerah pacaran, atau penemuan jati diri ketika ngopi bersama pak guru. Kelas-kelas yang menginspirasi masa depan, kelas yang merayakan talenta anak-anak, kelas yang menghargai kehidupan ialah pengalaman itu sendiri. Inilah pengalaman emosional sekaligus spiritual yang tak lekang oleh waktu, bahkan nyaris tak sanggup disaingi.
"Saya berasal dari Sekolah Menengan Atas "ABC", awalnya saya kaget masuk UBAYA. Sungguh berbeda kondisinya. Sangat multikultur dan perbedaan itu sanggup hidup bersama. Saya yang awalnya risih bergaul dengan orang beda agama, kini teman-teman saya agamanya macam-macam. UBAYA ialah citra kecil Indonesia." Ini ialah pernyataan salah seorang mahasiswa pascasarjana di daerah saya bekerja. Memang, perbedaan yang ada tidak sekadar diterima dan dimaklumi, namun dengan upaya sadar , dirawat, lantaran demikianlah realita kehidupan.
3. Reliability beyond accounting
Kepada siapakah gotong royong sebuah perguruan tinggi itu bertanggung jawab? Yayasan, pemerintah, atau pebisnis pemilik? Ya, mungkin saja benar. Setiap tahun, perguruan tinggi yang baik menjalankan kegiatan penganggaran dan monitoring internal sebagai refleksi sekaligus ide perbaikan. Ini ialah bentuk pertanggungjawaban umum yang bersifat mandatori. Selain itu, mereka juga menjalani proses evaluasi dan standarisasi dari pihak eksternal. Menariknya, ketika ini aneka macam perguruan tinggi gemar berlomba meraih pengukuhan dan sertifikasi. Demi apa?
Memang benar, performa keuangan itu penting, pengakuan juga penting. Namun, jangan hingga kedua jenis sasaran tersebut mendistorsi misi mulia bahwa perguruan tinggi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan semata alat akumulasi laba demi kepuasan pebisnis apalagi alat politik. Pelita inilah yang harus dijaga selamanya. Sebuah kesadaran pertanggungjawaban kepada negara dan bangsa. Perguruan tinggi bertanggung jawab pada nasib generasi muda bangsa. Perguruan tinggi bertanggung jawab kepada stakeholder, memberi value, mencerahkan, dan membangun peradaban yang baik, insan seutuhnya. Kesadaran yang diturunkan pada segenap sivitas akademikanya.
Dan pada akhirnya, pertanggungjawaban sebuah perguruan tinggi harus ditujukan pada Tuhan Yang Maha Esa. Atas restuNya kita ada. Sudah sepatutnya, manajemen universitas bekerja sebagai wujud ibadah, ritual suci yang jauh melampaui sekadar angka-angka keuangan. Demikianlah prinsip beyond accounting.
4. Organization awareness
Sebagai cuilan dari kehidupan, perguruan tinggi harus mempunyai kesadaran ihwal keterhubungan kosmik atau omni connectivity. Hidup ialah keterhubungan antarelemen yang ada di alam semesta. Apa yang kita lakukan akan berdampak pada hal lain. Demikian pula sebaliknya. Sebagai pola terjadinya peningkatan permukaan maritim jawaban pencairan es di kutub. Pencairan jawaban pemanasan global, yang diakibatkan oleh pola hidup manusia. Universitas harus berani tampil sebagai penyuara keberlanjutan alam. Pengembangan keilmuan, kegiatan Tridharma dan aneka macam sketsa kerjasama dengan pihak ke-3 ditujukan pada kesinambungan alam, manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan. Ini ialah implementasi dari kesadaran dunia besar atau dalam ilmu Tasawuf disebut Jagad Agung. Bagaimana memulainya?
Awali dengan membangun kesadaran organisatoris secara internal. Bahwa apapun yang terjadi, ialah jawaban kekerabatan sebab-akibat dan interaksi seluruh elemen di dalam organisasi. Sebagai contoh, kita mendapati turunnya secara signifikan jumlah pendaftar. Siapa yang salah? Tim marketing? Pemimpin tim marketing? Bagian HRD yang tidak memberi training lanjutan, atau pimpinan rektorat yang jarang memberi arahan? Bisa jadi semuanya saling berkolerasi. Segala problem dipandang secara holistik. Bahwa keberhasilan/ kegagalan di satu divisi juga dipengaruhi andil divisi lain. Dalam tulisan sebelumnya, saya memaparkan bagaimana responsibility justru berpotensi membuat ego divisi dan jurang sinerji. Berpikirlah membuat value center, dimana setiap divisi juga bertanggungjawab untuk memberi layanan, value, santunan kepada divisi lain. Ini ialah kesadaran ihwal Jagad Alit.
Dengan merawat keempat pilar ini sebagai hal yang paling fundamental, semoga dunia pendidikan tinggi di Indonesia lebih baik. H.E.R.O akan menjaga kemurnian hati tim manajemen dan seluruh sivitas perguruan tinggi, ibarat matahari menjaga siang, dan bulan menjaga malam.
Semoga bermanfaat!
