Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Spirituality-Based University, Renungan Pendidikan Dan Peradaban (Bagian 1)

pic: contentcoms
Suatu ketika, Prof Wibisono Hardjopranoto, Guru Besar Universitas Surabaya menyampaikan bahwa pendidikan pada kesudahannya akan membentuk peradaban. Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yakni pilar kemajuan sebuah bangsa. Lalu, bagaimana dengan nasib pendidikan dan peradaban kita?

Sudah cukup kasus-kasus kriminal intelektual di negeri kita menjadi tamparan batin. Jual beli ijazah, joki kiprah akhir, pemalsuan dokumen, plagiarisme, hingga isu-isu radikalisme dan tindak asusila yang gres saja hangat. Semua demi apa? Status, kekuasaan, uang, kepangkatan, dorongan nafsu? 

Pemudaran kemuliaan perguruan tinggi tak hanya berdampak pada gambaran universitas, namun juga masa depan bangsa. Sudah saatnya, setiap insan pendidikan tinggi kembali sadar, eling lan waspodo, bahwa ruang pendidikan bukan media pembangun kekuasaan, politik praktis, maupun alat kapitalisme. Ruang pendidikan yakni tiang agung peradaban dan kemajuan bangsa. 

Mungkin saja, ego yakni akar masalahnya atau... 

Saya berguru banyak dari guru pengusaha Sudhamek, Chief dari korporasi ternama Garuda Food perihal konsep bisnis yang sangat mulia. Beliau menyebutnya, Spirituality-based Company. Dengan konsep spiritualitas dalam bisnis, Sudhamek berhasil dinobatkan sebagai satu dari lima puluh orang terkaya di Indonesia dengan nilai $920M (Forbes). 

Spiritualitas, bukan hal yang gampang disampaikan, kadang malah jadi materi candaan. Ada yang bilang, spiritualitas hanya ada di kawasan ibadah. Di kantor, ya saatnya bicara realita, bisnis dan keuntungan. Ojo dumeh!, Perlu dipahami, spiritualitas bukanlah agama. Spiritualitas melampaui sekat agama. Memang benar, dengan beragama secara benar, seseorang sanggup mencapai spiritualitas yang lebih baik.

Spiritualitas yakni perihal nilai-nilai kemanusiaan universal. Tentang penyadaran diri adanya jagad kecil dan jagad besar, yang saling terhubung. Kesadaran diri perihal keIlahian. Sebagai pola sederhana, seseorang yang mempunyai spiritualitas yang baik akan menganggap bahwa bekerja, mengajar, menjadi pimpinan, menjadi mahasiswa yakni ibadah. Jika demikian kesadarannya, insyaallah masalah-masalah yang telah kita singgung di atas sanggup dihindari.

Nyatanya, ketika ini, perusahaan sekelas Google (Tan, Google) dan 3M juga menerapkan nilai yang sama. Nilai-nilai spiirtualitas berbuah kesejahteraan bersama. Bahkan universitas sekelas Stanford telah membangun CCARE, The Center for Compassion and Alturism Research and Education. Belajar dari mereka, syukur, di kawasan saya bekerja, telah dibangun mata kuliah Akuntabilitas dan Spiritualitas dalam Bisnis, wajib bagi mahasiswa magister akuntansi, yang agar makin luas imbas baiknya.

Jika nilai-nilai spiritual diyakini dan terbukti membawa kebaikan lebih besar di perusahaan yang notabene profit-oriented. Mungkinkah, ini saatnya perguruan tinggi khususnya di Inonesia yang memang dibangun dari nilai berakal Pancasila, kembali berselaras diri dengan nilai-nilai spiritualitas, untuk terus membangun peradaban yang lebih baik? Mungkinkah sudah saatnya civitas akademika bergerak seirama Hamemayu Hayuning Bawono, serius menata konsep yang saya sebut Spirituality-based University??? 


bersambung...


Sumber http://inspirasisolusibisnis.blogspot.com/