Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ajarkan Toleransi Pada Anak Semenjak Dini

Bukan keputusan saya, dilahirkan di keluarga etnis Tionghoa beragama Katolik. Menjadi kaum minoritas, semenjak kecil, bahkan hingga jenjang SMA, hidup di kota kecil, sudah terbiasa sanggup olokan berbau etnis dan seputar agama. Dulu, emosi banget tapi tak sanggup apa-apa sebab realitanya, saya memang "berbeda". 

Bertambah usia, sadar juga jikalau emosi, benci, bukan solusi. Lalu apa yang sebaiknya kita lakukan?

Olokan-olokan berbau SARA sering tumbuh subur di grup-grup keluarga, saudara. Olokan yang kemudian menjadi sentimen hingga kebencian. Keluarga, yaitu benteng pertama bagi anak untuk berguru arti toleransi, menghargai, menghormati perbedaan. Keluarga jugalah yang pertama kali mengajarkan sebaliknya. 

...

Minggu lalu, anak saya gres pulang dari field trip sekolah di sebuah perkebunan Pacet. Saya mendengar spoiler dari istri saya, ia membeli 3 buah tangan buat keluarga. Kerupuk buat adik, gelang buat mama, dan satu gantungan kunci buat saya. Bertemu dengannya, saya pribadi menanyakan, "Mana oleh-pleh buat papa?" Tampak galau, membisu saja beberapa detik sebelum jadinya buka mulut, "Ada gantungan kunci tapi saya salah beli." Hmm, saya penasaran, "Emang kau beli gantungan kunci apa?" Memasukkan tangan ke dalam kantong, mengambil gantungan itu sambil menyampaikan pada saya, "Ini papa...", ia tampak ragu menunggu respon saya. Ia membelikan saya gantungan kunci berbahan kayu dengan goresan pena We Love Rosul, dan doa dalam bahasa Arab di sisi baliknya.

Spontan, saya memeluknya sambil menyampaikan terima kasih. Dia makin bengong, "Aku kan salah beli", katanya. "Tidak, kau tidak salah beli. Tidak ada duduk kasus membeli suvenir demikian. Islam agama yang baik, indah. Lihat saudara-saudara kamu, nenek, tante, lihat temen-temen papa, mereka beragama Islam dan penuh kasih sayang pada kita. Bahkan, papa sangat menghormati Nabi Muhammad", terang saya. Sekali lagi saya memeluknya dan mengatakan, "Terima kasih, papa akan jaga baik-baik oleh-olehnya." Dia jadinya tersenyum terlihat lega parasnya.

Saya sadar, anak saya hidup di dunia, masyarakat yang heterogen. Suatu ketika ia akan membangun relasi, bekerja sama, hidup, bersama orang-orang yang beragam. Sejak dini, ia harus berguru terbiasa dan menghargai warna warni kehidupan. Walaupun ia mempunyai 1 warna favorit, namun ia harus memahami, hanya dengan perpaduan warna, pelangi sanggup tercipta. 

Semua dimulai dari keluarga...

***

Sumber http://inspirasisolusibisnis.blogspot.com/