Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Not Smoking Kills You, But Your Jobs Does

pic: unusual
Asti, bukan nama sebenarnya, seorang manajer profesional di sebuah perusahaan kota metropolitan. Demi memenuhi kebutuhan ekonomi, ia terpaksa hijrah jauh meninggalkan suami dan anak-anaknya. Lebih sepuluh tahun, semenjak tahun 90an ia bekerja pada korporat ternama. Memang sungguh besar honor dan tunjangannya, namun risiko konflik, tanggungjawab dan tingkat stress tak kalah tinggi. Jarang ia sanggup eksklusif pulang kantor pukul 5 sore. Bahkan sabtu dan ahad terkadang harus tiba ke kantor. 

Memasuki tahun 2000an, ia mengalami duduk kasus kesehatan. Dokter mem-vonisnya aktual mengidap kanker dan berdasarkan diagnosa, 5 tahun saja ia sanggup bertahan sudah sangat baik.

Kejadian ini menjadi titik balik Asti untuk berpikir kembali perihal hidupnya. Sekian belas tahun ia  "bertengkar" dengan rekan kerja, berjuang, berbakti pada dewan direksi, tak erat dengan anak-anaknya, jarang sekali berkencan dengan suaminya, dan kini menyadari hidupnya yang tak usang lagi. Semua raihan, tabungan, tiba-tiba saja tak berarti. Niat awal bekerja untuk keluarga, kesudahannya justru menjadikannya seorang ibu yang mengorbankan keluarga demi karirnya.

Ia mulai membaca artikel-artikel perihal kanker, berdiskusi dengan komunitas dan beberapa dokter. Benar, salah satu pemicu penyakitnya yaitu pikiran. Beban pekerjaan, setiap hari memeras otak, enerji, dan perasaannya. Belum tekanan batin melawan rindunya pada keluarganya. Tekanan yang ia tanggung sekian lama.

Tetap dalam perjuangan pikiran dan perilaku positif, ia memutuskan berhenti bekerja, pulang kampung, dan mencari pekerjaan lain. Tahun 2005, ia mulai bekerja sebagai guru di sekolah kecil di kotanya. Gajinya terang jauh lebih kecil, teladan pekerjaannya lebih sederhana, namun ia sanggup berjumpa dengan keluarganya, setiap hari. Dekat dengan suami, aneka macam tawa, canda, suka, duka, bersama. Ia mengaku, semenjak ketika itu ia lebih banyak tertawa daripada murung. Hidupnya terasa lebih berarti, bukan alasannya yaitu berapa banyak uang yang sanggup ia dapatkan, namun alasannya yaitu kebahagiaan yang ia rasakan.  Kebahagiaan dari hal-hal paling sederhana dan mendasar, ibarat melihat bawah umur makan masakannya dengan lahap, mencicipi hangatnya pelukan suami ketika ia galau, atau merayakan hari ulang tahun bersama keluarga.

Saya berjumpa dengan dia awal tahun 2018 ini. Berarti sekitar 15 tahun semenjak ia divonis bahwa hidupnya tidak lebih dari 5 tahun. Luar biasa, ia sanggup bertahan hingga kini dan tampak sehat. Bahkan ia mengaku rutin berolah raga ringan bersama keluarganya, sebuah wow. Dalam perbincangan terakhir, ia sempat nyeloteh not smoking kills you, but your jobs does!

Sumber http://inspirasisolusibisnis.blogspot.com/