Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Makalah Implementasi Manajeman Pendidikan Menurut Manajeman Berbasis Sekolah Di Indonesia

IMPLEMENTASI MANAJEMAN PENDIDIKAN BERDASARKAN MANAJEMAN BERBASIS SEKOLAH DI INDONESIA
            
          I.          PENDAHULUAN
Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan fundamental dalam banyak sekali kehidupan    termasuk kehidupan pendidikan. Salah satu perubahan fundamental yang sedang digulirkan ketika ini yaitu administrasi negara, yaitu dari administrasi berbasis pusat menjadi administrasi berbasis daerah. Secara resmi, perubahan administrasi ini telah diwujudkan dalam bentuk "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 ihwal Pemerintah Daerah" yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa "Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 ihwal Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Konsekwensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut yaitu bahwa administrasi pendidikan harus diubahsuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, administrasi pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktekkan perlu diubah menjadi administrasi berbasis sekolah (MBS)    

II.        PEMBAHASAN
Istilah administrasi berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen yaitu pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya melalui sejumlah input administrasi untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya insan dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input administrasi terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Pengertian administrasi tersebut, berdasarkan Poernomosidi Hadjisarosa, 1997) sanggup dilukiskan menyerupai pada Gambar 1 berikut, dengan keterangan: SDM-M (sumberdaya insan manajer) mengatur sumber daya insan pelaksana (SDM-P) melalui input administrasi yang terdiri dari (T = Tugas; R = Rencana, P = Program; T3 = Tindakan Turun Tangan; K = Kesan) semoga SDM-P memakai jasa manusianya (Jm) untuk bercampur tangan terhadap sumber daya selebihnya (SD-slbh), sehingga proses sanggup berlangsung dengan baik untuk menghasilkan output.
Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah yaitu suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas menawarkan "bekal kemampuan dasar" kepada penerima didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja).Otonomi sanggup diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung (Undang-Undang No.22 Th.1999 ihwal Pemerintahan Daerah). Istilah otonomi juga sama dengan istilah "swa", contohnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, swalayan, dan swa-swa lainnya. Makara otonomi sekolah yaitu kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan menentukan cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diharapkan suatu proses yang disebut "desentralisasi". Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari Dati II ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan nasional. Pengalaman selama ini memperlihatkan bahwa pendidikan yang diatur secara "sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena menyerupai berikut: lamban berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya sebab terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah, yaitu merupakan esensi desentralisasi. Menurut Bailey (1991), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen, dan ukurannya kecil, gampang beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan desentralisasi, maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang dengan subur, sehingga keputusan sanggup dibentuk "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas/pertanggunggugatan terhadap masyarakat (majelis sekolah, orangtua penerima didik, publik) dan pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya, produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moralnya). Pengambilan keputusan partisipatif (David, 1989) yaitu suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang bau tanah siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara pribadi dalam proses pengambilan keputusan yang akan sanggup berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa kalau seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Dengan pengertian diatas, maka pengembangan administrasi berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan administrasi berbasis sekolah memerlukan konsolidasi administrasi sekolah.
Tujuan
Manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk "memberdayakan" sekolah, terutama sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang bau tanah siswa, dan masyarakat sekitarnya), melalui pemberian kewenangan, fleksibilitas, dan sumber daya lain untuk memecahkan kasus yang dihadapi oleh sekolah yang bersangkutan.
Ciri-ciri sekolah yang "berdaya" pada umumnya: tingkat kemandirian tinggi/tingkat ketergantungan rendah; bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus; mempunyai jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dsb.); bertanggungjawab terhadap hasil sekolah; mempunyai kontrol yang berpengaruh terhadap input administrasi (T,R,P,L,T3,K) dan sumber dayanya; kontrol terhadap kondisi kerja; kesepakatan yang tinggi pada dirinya; dan dinilai oleh pencapaian prestasinya. Selanjutnya, bagi sumber daya insan sekolah yang berdaya, pada umumnya, mempunyai ciri-ciri: pekerjaan yaitu miliknya, beliau bertanggung jawab, beliau mempunyai bunyi bagaimana sesuatu dikerjakan, pekerjaannya mempunyai kontribusi, beliau tahu posisinya dimana, beliau mempunyai kontrol terhadap pekerjaannya, dan pekerjaannya merupakan potongan hidupnya.
Contoh-contoh ihwal hal-hal yang sanggup memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, memecahkan kasus pekerjaan secara "teamwork", variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa beliau yaitu potongan penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diberlakukan sebagai insan ciptaan-Nya yang mempunyai martabat tertinggi (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000).
Pergeseran Pendekatan Manajemen Pendidikan
Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 ihwal Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) dan bukti-bukti empirik ihwal kurang efektif dan efisiensinya administrasi berbasis pusat, maka Departemen Pendidikan Nasional melaksanakan penyesuaian-penyesuaian, salah satunya yaitu melaksanakan pergeseran pendekatan manajemen, yaitu dari pendekatan administrasi berbasis pusat menjadi administrasi berbasis sekolah, menyerupai dilukiskan pada Gambar 2 (Slamet PH, 2000).
Berikut disampaikan klarifikasi terhadap pergeseran pendekatan administrasi berbasis pusat menuju MBS.
a.         Dari Sub-Ordinasi Menuju Otonomi
Pada administrasi berbasis pusat, sekolah merupakan sub-ordinasi dari pusat, sehingga sifat ketergantungannya sangat tinggi. Sekolah tidak berdaya dan tidak mempunyai kemandirian, sehingga kreativitas dan prakarsanya terpasung dan beku. Pada MBS, sekolah mempunyai otonomi (kemandirian) untuk berbuat yang terbaik bagi sekolahnya. Ketergantungan pada tingkat pusat makin kecil, sehingga sekolah harus remaja dan meyakini bahwa perubahan pendidikan tidak akan terjadi kalau sekolahnya sendiri tidak berubah. Tentu saja kemandirian ini menuntut kemampuan sekolah untuk mengatur dan mengurus sekolahnya berdasarkan prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 b.         Dari Pengambilan Keputusan Terpusat Menuju Pengambilan Keputusan Partisipatif
Berbeda dengan pengambilan keputusan pada administrasi berbasis pusat yang ditandai oleh one man show, lamban hasilnya, dan sering tidak pas kesudahannya dengan kebutuhan sekolah, maka pengambilan keputusan pada MBS melibatkan warga sekolah, yang selain cepat hasilnya, juga sesuai kesudahannya dengan kebutuhan sekolah. Pelibatan partisipan dalam pengambilan keputusan tentu saja diubahsuaikan dengan relevansi, keahlian, yurisdiksi, dan kompatibilitas keputusan dengan kepentingan partisipan.
c.          Dari Ruang Gerak Kaku Menuju Ruang Gerak Luwes
Akibat banyaknya kiprah dan fungsi, wewenang, tanggungjawab, kewajiban dan hak sekolah yang ditangani oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, maka ruang gerak sekolah kaku untuk menuntaskan masalah-masalah yang dihadapi maupun untuk memenuhi kebutuhannya. Pada pendekatan administrasi yang baru, ruang gerak sekolah sangat luwes sebab apa yang selama ini dilakukan oleh Pusat, Wilayah, dan Kandep, sebagian besar sekarang diserahkan ke sekolah.
d.       Dari Pendekatan Birokrasi Menuju Pendekatan Profesionalisme
Pada pendekatan birokrasi, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas apa yang dianggap benar dan baik oleh pimpinannya. Pada pendekatan profesionalisme, apa yang dilakukan oleh sekolah didasarkan atas profesionalisme. Karena itu, peranan keahlian sangat penting dalam membimbing tingkah laris warga sekolah, bukan kekuasaan.
e.      Dari Manajemen Sentralistik Menuju Manajemen Desentralistik
Pada model lama, pusat mempunyai kewenangan yang berlebihan, sehingga terjadilah pemusatan kekuasaan di pusat. Pemusatan kekuasaan ini telah menjadikan dampak negatif pada sekolah, yaitu selain sekolah tidak berdaya, banyak keputusan-keputusan yang tidak efektif dan efisien. Karena kecil kewenangan yang dimiliki oleh sekolah, maka tidak jarang sekolah hirau tak hirau terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Sedang pada administrasi desentralistik, banyak kewenangan Pusat, Wilayah, dan Kandep yang diserahkan ke sekolah. Dengan pendekatan ini, maka sekolah akan lebih berdaya dan keputusan-keputusan yang dibuatnya akan lebih efektif dan efisien.
Model MBS Ideal
Dalam artian yang sesungguhnya, sesungguhnya sulit menawarkan contoh administrasi berbasis yang "uniformitas" dan "konformitas" sekaligus, sebab dalam kenyataan juga tidak gampang menemukan sekolah yang karakteristik "kancah"nya sama. Model MBS berikut merupakan model yang pada umumnya mempunyai ciri-ciri universal, sehingga setiap sekolah yang akan mengadopsi model ini perlu mengadaptasikannya/menyesuaikannya dengan karakteristik kancah di sekolah masing-masing. Model MBS berikut intinya ditampilkan berdasarkan pendekatan sistem (berfikir sistem), yaitu output-proses-input. Urutan ini dipilih dengan alasan bahwa setiap acara sekolah akan dilakukan, termasuk acara melaksanakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), semestinya dimulai dari "output" yang akan dicapai, kemudian ke "proses", dan gres ke "input" yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Namun, langkah-langkah pemecahan persoalannya ditempuh dengan mengikuti urutan yang berlawanan dengan arah analisis SWOT. Karena MBS telah merupakan jiwa dan semangat sekolah, maka setiap klarifikasi berikut telah menginklusifkan otonomi dan partisipasi ke dalamnya, meskipun tanpa menyebut istilah otonomi dan partisipasi. Artinya, setiap pembahasan butir-butir berikut selalu dijiwai oleh otonomi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan sekolah

.                  III.       PENUTUP
Mengubah administrasi berbasis pusat menjadi administrasi berbasis sekolah (transisi) merupakan proses yang panjang dan melibatkan banyak pihak. Transisi ini memerlukan penyesuaian-penyesuaian, baik sistem (struktur)nya, kulturnya, maupun figurnya, dengan tuntutan-tuntutan gres administrasi berbasis sekolah. Oleh sebab itu, kita tidak bermimpi bahwa perubahan ini akan berlangsung sekali jadi dan baik hasilnya. Dengan demikian, fleksibiltas dan eksperimentasi-eksperimentasi yang menghasilkan kemungkinan-kemungkinan gres dalam penyelenggaraan administrasi berbasis sekolah perlu didorong.
Sebuah pendidikan akan berkualitas apabila adanya sumbangan dan kerjasama dari pihak sekolah, masyarakat, dan seluruh stake holder terkait. Saling mempunyai tekad, tujuan, visi dan misi yang sama untuk kemajuan sebuah pendidikan. Sekolah yang mempunyai daya saing guna meningkatkan mutu lulusan yang kompeten.
Sekolah mempunyai tanggung jawab untuk membangun sekolah menjadi sebuah sekolah yang unggul dalam segala hal. Dibutuhkan upaya dan motivasi yang berpengaruh semoga sekolah bisa berdaya saing. Bukan untuk alasan bersaing dalam hal gengsi dan merasa paling unggul, tapi tetap bersaing untuk menciptakan sebuah pendidikan yang sanggup bermanfaat bagi penerima didik, lingkungan masyarakat dan diharapkan semoga semua lapisan masyarakat mempunyai kesadaran akan pentingnya pendidikan. Oleh sebab itulah dikenalkan sebuah paradigma gres dalam dunia pendidikan, yaitu sebuah administrasi sekolah yang menawarkan kewenangan dan kebebasan bagi setiap sekolah untuk membuatkan pendidikannya sendiri.
Manajemen Berbasis Sekolah, merupakan sebuah paradigma gres yang dikenalkan oleh pemerintah dalam upayanya untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Indonesia. Sesuai dengan UU Sisdiknas No. 23 yang menyebutkan bahwa, Sekolah dibangun atas Manajemen Otonomi Sekolah masing masing dengan penerapan Management Berbasis Sekolah. Kebijakan ini diambil seiring dengan diberlakukannya otonomi setiap daerah. Seiring dengan otonomi yang dijalankan oleh setiap pemerintah, baik itu pemerintah tempat atau kota, maka dalam bidang pendidikan pun terkena imbasnya. Memberikan kebebasan yang selebar lebarnya bagi sekolah untuk membangun sekolahnya sendiri. Tentu dengan teladan dan pedoman yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

 DAFTAR PUSTAKA
Aburizal Bakrie. 1999. Mengefektifkan Sistem Pendidikan Ganda. (Makalah Disampaikan pada Rapat Kerja Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional, 29 Maret 1999) di Jakarta.
Bailey, William J. 1991. Schhol-Site Management Applied. Lancaster-Basel: Technomic Publishing CO.INC.
Direktorat Dikmenum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Bovin, Olle. 2000. Towards A Learning Organization. Geneva: International Labour Office.
Cangeni, Joseph P. & Casimir J. Kowalski & Jeffry C. Claypool. 1984. Participative Management. New York: Philosophical Library.
David, Jane L. Synthesis of Research on School-Based Management. (Educational Leadership, Volume 46, Number 8, May 1989).
Dewan Perwakilan Rakyat. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 ihwal Pemerintahan Daerah. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat. 2000). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 ihwal Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1). Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Departemen Pendidikan Nasional.
Poernomosidi Hadjisarosa. 1997. Naskah 1: Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenali Hal Secara Utuh dan Benar (Bahan Kuliah STIE Mitra Indonesia). 

Sumber https://belajarmesinbubutcnc.blogspot.com/