Disruptive Boomerang: Taxi Online, Penemuan Yang Menjegal Sang Inovator
![]() |
pic: kompasiana |
Di tengah nikmatnya akomodasi dan murahnya taxi onlen, tiba-tiba kita dikejutkan gosip demo besar sopir transportasi umum (khususnya taxi) di beberapa kota besar. Mereka menolak kehadiran taxi online yang dianggap menyusahkan "wong cilik" dan pengelola transportasi tradisional. Pemerintah didesak untuk membatasi kehadiran taxi online. Dan hingga dikala ini keresahan itu masih terjadi. Apakah ini bukti dari ketidaksiapan kita mendapatkan teknologi baru? Apakah ini merupakan ini manifestasi dari ketakutan dalam diri mereka yang tersisihkan? Apakah ini gerakan kaum kapitalis dengan dalih kesejahteraan wong cilik?
Mulanya, saya menilai first mover Go-Jek di Indonesia sebagai bentuk disruptive innovation. Perusahaan new entrant yang begitu saja nyelonong mematahkan teladan permainan industri tradisional dan menjadi pemimpin permainan gres dengan model bisnis yang lebih canggih. Disusul Uber, Grab, dan banyak startup serupa lain. Jutaan user telah mengunduh aplikasi transportasi online sebab memang value yang ditawarkan memang lebih sesuai dengan kebutuhan market, kemudahan, kecepatan, dan murah. Mereka yakni produk-produk layanan yang telah tervalidasi dengan metode lean startup mendekati sempurna. Nyatanya, taxi online menerima tekanan besar dari masyarakat Indonesia, tekanan yang dimediasi oleh kekuatan politik. Dan nampaknya, disruptive innovation taxi online kini menjadi bumerang bagi para inovatornya atau saya sebut Disruptive Boomerang.
Mengapa gres kini demo?
Sudah barang biasa ketika sebuah penemuan pada mulanya diapresiasi hingga penemuan tersebut menjadi faktor disruptor. Sekarang, siapakah yang gotong royong terusik? Pengemudi taxi? Atau pengelola dan pemilik bisnis taxi? Tentu Anda sudah mengetahui siapa dalang dibalik narasi drama besar ini? Jelas, semua berujung pada uang. Ketakutan kehilangan pangsa pasar, ketakutan kehilangan pelanggan, bahkan ketakutan kehilangan investor. Itulah hipotesis saya.
Lalu apakah disruptive innovation hanya mitos?
Mungkin benar, mungkin tidak. Di aneka macam perusahaan besar dikala ini sedang heboh dengan istilah ini, bahkan berlomba-lomba menjadi disruptor dengan kekuatan inovasinya. Disruptive innovation mempunyai perkiraan dasar yang sering diabaikan, yaitu kondisi masyarakat. Disruption tidak serta merta sanggup diimplementasikan di setiap daerah. Memang benar di Amrik sono, disruptive innovation ibarat Google, facebook, dan iPhone sanggup berjalan dengan lancar jaya. Mengapa? Karena struktur dan mindset masyarakatnya sudah sekian langkah lebih maju. Kehidupan ekonomi mereka rata-rata sudah lebih baik, mereka tidak lagi menjadi budak materi, mereka mencari sesuatu yang lain, yang melampaui bisnis yakni uang saja. Sedangkan sebagian besar masyarakat kita masih hidup dalam ekonomi yang sederhana mengingat sebagian besar kekayaan negara kita masih dikuasai segelintir orang saja. Tentu hadirnya disruptive inovation yang mengusik aspek Undang-Undang Dasar akan menjadi polemik dan konflik besar. Lalu bagaimana dengan Alibaba yang muncul di Cina?
Alibaba muncul dengan visi mulia, membantu pengusaha kecil untuk memasarkan produknya secara internasional. Alibaba muncul sebagai hero ekonomi masyarakat dan terang ini akan menerima sumbangan jago dari wong cilik. Sebaliknya, fenomena taxi online dinilai sebaliknya, mereka memakan "jatah" lapangan kerja masyarakat. Lepas gotong royong ini yakni jatah wong cilik atau kaum kapitalis di balik layar, pastinya industri transportasi kita secara mental dan moral belum siap mendapatkan disruptive innovation. Menjadi tantangan bagi kita semua, bagaimana menyadarkan pentingnya penemuan dan survival. Secara pribadi, sebagai dosen saya juga harus bertanggungjawab untuk menginspirasi orang lain perihal pentingnya penemuan dan survival, biar tidak gampang terkejut atas perubahan tiba-tiba, dilema, apalagi mengaksikan demo drama untuk menerima belas kasihan. Dan saya bersyukur, semenjak tahun lalu, saya bersama tim kurikulum telah setuju membuka peminatan innovation accounting pada jenjang pendidikan magister akuntansi di tempat saya mengabdi, Universitas Surabaya.
Mengakhiri, sekali lagi disruptive innovation itu bersyarat. Struktur dan mindset masyarakat sangat memilih keberhasilan implementasi disruptive innovation!
Semoga bermanfaat!
Sumber http://inspirasisolusibisnis.blogspot.com/
