Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Era Dikala Marketer Sudah Jadi Zombie

(pic of Plant vs Zombie)
Siang itu, saya menunggu kabar telepon dari calon klien. Di sela-sela waktu rehat, hape saya bergetar. Spontan saya mengambil hp. “Ini dia…” guman saya. Sambil segera mengaktifkan tombol call, saya siap menyapa calon klien dengan penuh semangat. “Selamat siang Bapak Boni?” sapa penelpon yang kebetulan seorang wanita. “Hhmm, iya. Maaf dari mana ini, mbak?” “Saya Dewi dari Bank X, sebelumnya kami ucapakan terima kasih atas kesetiaan Bapak menjadi nasabah kami. Sebagai tanda bukti terima kasih kami dan untuk meningkatkan mutu layanan kami, kami menawarkan jadwal santunan ekstra bla, bla, bla…  untuk menerima manfaat tersebut, kami hanya melaksanakan debit otomatis hanya sebesar X rupiah setiap bulan secara praktis, bla, bla, bla…”

Rasanya sulit sekali memotong pembicaraan tanpa titik tersebut. Arah pembicaraan makin mengerucut pada proposal semacam jadwal perlindungan. Karena belum cukup tertarik, saya mencoba menolaknya dengan halus, “Maaf mbak, saya sudah ada jadwal lain dan belum berminat dengan proposal Anda.” Saya pikir beliau akan mengakhiri pembicaraan dan ternyata tidak. Jawaban saya ternyata membuka topik baru. Ia lanjut bertanya, “Jika boleh tahu, jadwal apa Pak? Mungkin kami sanggup memberi klarifikasi lebih rinci kelebihan manfaat jadwal kami.” Jika diteruskan, bisa-bisa saya menerima pertanyaan, “Mas Bon masih jomblo atau… ?”

Tentu Anda pernah menjumpai atau mengalami pengalaman serupa, bahkan dalam satu hari sanggup menerima 2 hingga 3 panggilan “spam”. Tawaran-tawaran penuh paksaan dan “jebakan”. Anda didesak, di-framing sedemikian rupa hingga mungkin hingga tetapkan berkata “ya” dan setiap bulan, saldo bank Anda terus terkuras. Anda mulai menyesal dan berasa kena “gendam”. Memang, Anda masih punya kesempatan untuk membatalkannya. Namun pada umumnya, mekanisme peniadaan dirancang sebirokratif mungkin dan pakai usang supaya Anda tidak gampang keluar dari ikatan tersebut.

Strategi marketing demikian sedang marak diadopsi perusahaan di Indonesia, khususnya penjual eceran baik itu produk jasa atau barang. Gerakan-gerakan marketing berangasan yang bersifat offline banyak ditemui di sentra keramaian ibarat mall. Bahkan mereka (SPG) tidak segan-segan menggandeng, menarik tangan pengunjung untuk (minimal) mendatangi stan-nya. Para salesman/ SPG dibuat sebagai pemaksa yang agresif. Perusahaan menjanjikan bonus penjualan yang menggiurkan melalui prinsip sell or “die”.

Saya menilai hal ini sebagai pemudaran (desaturasi) value di dalam kegiatan marketing. Marketing bukan lagi menjadi proses bisnis yang sehat, namun menjadi arena persaingan yang keras, baik antarmarketer, baik di dalam satu perusahaan maupun antarperusahaan. Akibatnya, marketer identik dengan stereotip sebagai pemaksa dan pekerja ulet yang hanya peduli omzet dan laba pribadi. Blogger dan pakar marketing Drew Beechler mengumpulkan data persepsi masyarakat yang menyebut marketer modern sebagai mad man drama, workaholic,  dan professional spammer. Saya tidak akan membahas stereotip tersebut, namun lebih melihat ke belakang, mengapa mereka bersikap berangasan demikian?

Hakikinya, marketing ialah konsep yang baik alasannya acara inilah yang nantinya menjadi perantara penyampaian value dari tangan produsen ke tangan pengguna/ konsumen. Persaingan bisnis, munculnya produk alternatif, dan tekanan regulasi pemerintah ditengarai sebagai penyebab desaturasi marketing. Namun kalau dianalisis lebih mendalam, desaturasi marketing terjadi bukan hanya alasannya faktor eksternal, namun sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis tim administrasi perusahaan ibarat kekhawatiran perusahaan akan going concern di masa mendatang dan ketakutan terhadap manuver pesaing yang spektakular. Akhirnya, taktik yang dianggap baik untuk survive ialah bergerak lebih berangasan mengalahkan pesaing dan menguasai pasar. Filosofi kebaikan marketing telah memudar, kehilangan jiwa layaknya zombie.

...
...
...


*Pendahuluan buku Exist/ Extinct (Bonnie Soeherman), September-Oktober 2016

Sumber http://inspirasisolusibisnis.blogspot.com/