Tsuburaya Smart Story Marketing
Di periode 60an, Tsuburaya Production, perusahaan IP Jepang mulai memproduksi film yang mengangkat Ultraman, alien dari planet M78 yang tiba ke bumi dengan tujuan menjaga keutuhan bumi dari serangan Seijin (alien) dan Kaiju (monster). Tidak ada yang Istimewa dibanding IP-IP buatan Barat, hanya huruf berukuran raksasa menggunakan kostum ketat kombinasi warna silver-merah dengan alur dongeng yang diulang-ulang tiap episodnya. Hebatnya, Ultraman dengan teriakan "schowachh!-nya" telah bertahan lebih dari 50 tahun, melewati generasi ke generasi dan sampai dikala ini, Tsuburaya masih melanjutkan inovasinya melalui IP yang sama, Ultraman. Apa rahasianya?
Beberapa bulan lalu, anak aku sedang getol-getolnya menuntaskan serial Ultraman Never Ending Oddisey. Sejak itu, ada saja seruan untuk dibelikan action figure Kaiju (monster). Suatu sore, aku mendampingi anak aku nonton salah satu episod film tersebut dan aku menemukan alasan utama mengapa anak aku mulai tergila-gila dengan mainan Ultraman. Setiap episod, film ini menampilkan adegan pertarungan monster antik dengan imbas yang pas-pasan dibanding Pacific Rim. Begitu pula dengan teknologi senjata dan armada tempur yang masih mempertahankan teknik live action jadul dengan warna warni yang norak. Tiap episod mengisahkan latar belakang dan kekuatan monster imajinatif, pesan-pesan sederhana yang diulang-ulang dan lebay wacana teamwork, persahabatan, semangat juang, dan kemenangan kebaikan (lightness) atas kejahatan (darkness). Begitu seterusnya.
Satu hal yang menarik, pada final episod, para pemeran dengan cosplay terang-terangan menunjukkan banyak sekali merchandise action figure sambil menjelaskan kembali “fitur-fitur” kekuatan monster. “Ini ia penyebabnya!”
Saya mulai berpikir alasan mengapa mereka mempertahankan teknik live action tradisional (dengan mengambil gambar perabotan fisik berwarna norak, bukan digital melalui software 3D dan tone warna yang keren), tidak lain yaitu biar produk mainan yang dibentuk mempunyai tingkat kemiripan yang tinggi dengan filmnya. Perusahaan menggunakan film sebagai media “iklan”. Anak-anak dipengaruhi melalui story dengan pesan-pesan sederhana (sesuai psikografi anak), gres diberi anjuran merchanidise. Keterikatan stori inilah yang menggerakkan passion, impian untuk memiliki. Film berfungsi sebagai media marketing ketimbang revenue stream. Dan story sebagai sarana penyampaian value yang bisa bekerja melalui alam bawah sadar anak-anak. Alur story yang diulang-ulang justru memudahkan kisah-kisah Ultraman menempel di benak anak-anak.
Revenue stream dari lisensi sudah niscaya sangat menjanjikan. Tidak hanya mainan dan merchandising, bahkan lagu (OST) juga jadi obyek penjualan. Lisensi merchandising Tsuburaya dipegang oleh Bandai, perusahaan mainan terbesar di Jepang. Dan yang perlu Anda ketahui, Yamashina Makoto, CEO Bandai dalam Asiaweek.com menyampaikan:
“One enduring icon: the alien Ultraman, who has been "protecting the earth since 1966." The silver-and-red super pahlawan has appeared in more than 500 live-action TV episodes. Ultraman merchandise brings in some $200 million (app. to Rp. 2.000.000.000.000) a year.”
Wow! Tsuburaya terus berinovasi menciptakan huruf dan dongeng gres untuk terus membesarkan revenue stream lisensi dan merchandise melalui story (cerita). Coba cari dengan kata kunci “Ultraman Ginga” dan Anda akan menemukan taktik bisnis Tsuburaya yang makin menjadi-jadi (lihat trailer di: ultraman ginga trailer-opening).
Semoga bermanfaat!
Sumber http://inspirasisolusibisnis.blogspot.com/
